iklan

SEJARAH : Ini Jejak Kerajaan Islam di Tanah Jawa, Muslim Wajib Tahu!

ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280
SEJARAH : Ini Jejak Kerajaan Islam di Tanah Jawa, Muslim Wajib Tahu!


Prof Merle Calvin Ricklefs dalam bukunya, Mengislamkan Jawa (2012), menjelaskan secara cukup komprehensif pengaruh Islam dan kerajaan-kerajaan Islam terhadap kebudayaan Jawa.

Sejarawan Universitas Cornell itu menyebutkan, tonggak perkembangan agama ini di Tanah Jawa dapat ditelusuri sejak abad ke-14. Bukti pertama yang menunjukkan hal itu adalah temuan beberapa nisan milik kalangan ningrat Muslim di lingkungan Kerajaan Majapahit. Nisan-nisan ini bertarikh tahun 1368-1369.

Baca Juga : Muslimah Wajib Baca! Mengasuh Anak, Hak atau Kewajiban? Sebarkan!

Surutnya pengaruh Majapahit memberi cukup ruang bagi tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam di tanah Jawa. Itu dipaparkan dalam karya klasik Babad Tanah Jawi. Dalam artikelnya, The Genesis of the Babad Tanah Jawi (1987), JJ Ras menjelaskan bahwa karya tersebut tidak hanya membahas Kesultanan Mataram atau keraton-keraton lainnya.

Kitab setebal 2.400 halaman ini juga menuturkan mitos kejadian umat manusia sejak Nabi Adam hingga 1745, yakni tahun terbentuknya Keraton Surakarta. Lantaran mencampur mitos dengan informasi historis, Babad Tanah Jawi digunakan secara kritis oleh para sejarawan.

Prof Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (2005) memandang Babad Tanah Jawi sebagai sumber yang dapat diandalkan untuk mengetahui Islamisasi dan runtuhnya Majapahit. Uraiannya berkisar pada Prabu Brawijaya alias Raden Alit dengan patihnya, Gadjah Mada. Prabu Brawijaya dikisahkan gentar terhadap pengaruh Sunan Giri.

Sebab, orang-orang Majapahit mulai banyak belajar kepadanya. Prabu Brawijaya takut bilamana Sunan Giri akan memberontak terhadap Majapahit. Untuk itu, dia memerintahkan Gadjah Mada untuk menyerbu kediaman Sunan Giri, tetapi serangan ini pun tidak berhasil. Sehabis perang, Sunan Giri meninggal dunia.

Cucunya, Sunan Parapen, menjadi penggantinya. Namun, intimidasi Prabu Brawijaya atas para pengikut Sunan Giri berkurang setelah dia sendiri terkena musibah usai mencoba membongkar makam Sunan Giri.

Sebelum Sunan Giri wafat, Raden Patah telah mengundangnya bersama dengan bupati Tuban, bupati Madura, bupati Surapringga, dan para sunan lainnya. Tujuan pertemuan ini adalah konsolidasi kekuatan Muslim untuk melawan Kerajaan Majapahit.

Namun, secara pribadi hubungan Raden Patah dengan Prabu Brawijaya sama sekali dekat. Sebab, ia merupakan putra sang prabu dari hasil pernikahannya dengan putri Cina. Istrinya itu adalah anak kandung Kiai Bantong, seorang saudagar sekaligus sahabat Prabu Brawijaya sendiri.

Pernikahan Prabu Brawijaya dengan putri Cina ini disebabkan istri sebelumnya, seorang putri Campa bernama Dwarawati, mandul. Setelah konsolidasi terbina baik, Raden Patah mengumpulkan segenap pemuka Muslim di Demak. Mereka semua lantas bergerak dan mengepung pusat kerajaan Majapahit.

Namun, Prabu Brawijaya beserta para loyalisnya mampu lolos dalam pengepungan ini. Atas nasihat Sunan Ngampel, Sunan Giri diangkat menjadi raja Majapahit selama 40 hari untuk menghilangkan segala pengaruh raja kafir.

Sesudah itu, takhta diserahkan kepada Raden Patah, yang lantas dikukuhkan sebagai sultan Demak. Pembangunan Masjid Demak menandai berakhirnya kekuasaan Majapahit pra-Islam sekaligus dimulainya Islamisasi Jawa dari kalangan elitenya. Dengan demikian, Kesultanan Demak adalah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa.

Namun, eksistensi Kesultanan Demak tidak bertahan begitu lama. Berdiri pada 1475, kerajaan ini runtuh 79 tahun kemudian karena perebutan kekuasaan di lingkaran elitenya sendiri. Pada 1560, pusat kekuasaan Islam di Jawa bergeser ke Pajang, yakni dekat Surakarta, Jawa Tengah, sekarang.

Sosok di balik itu adalah Joko Tingkir. Dia pernah mengabdi pada Kesultanan Demak sebelum negeri ini runtuh pada 1554. Joko Tingkir merupakan menantu Sultan Trenggono dan akhirnya menjadi bupati Pajang. Konflik di lingkaran elite Kesultanan Demak menyebabkan Arya Penangsang naik takhta setelah membunuh sanak familinya sendiri, Sunan Prawoto. Arya berencana pula membunuh Joko Tingkir, tetapi upayanya ini gagal.

Baca Juga : HOT NEWS: Terbongkar, Ada Intervensi Jusuf Kalla pada Pencalonan Anies Baswedan, Baca Sampai Tuntas!

Untuk melawannya, Joko Tingkir didukung bupati Jepara yang juga putri Sultan Trenggono, Ratu Kalinyamat. Setelah pertempuran, Joko Tingkir berhasil mengalahkan Arya Penangsang dan pengikutnya. Joko Tingkit otomatis menjadi pewaris takhta Kesultanan Demak. Kemudian, dia menggeser pusat kekuasaannya ke Pajang. Secara resmi, Joko Tingkir menjadi penguasa Kesultanan Pajang dengan gelar Sultan Adiwijaya setelah dilantik Sunan Prapen.

Meskipun pengaruh Majapahit mulai memudar, pemusatan kekuasaan Muslim di Tanah Jawa belum terjadi. Pada 1582, Joko Tingkir meninggal dunia. Sepeninggalannya, Pangeran Benawa (putra Joko Tingkir) dan Arya Pangiri, yakni menantu Joko Tingkir, terlibat perebutan kekuasaan. Arya Pangiri keluar sebagai pemenang sehingga naik takhta dengan dukungan Panembahan Kudus.

Namun, pada 1586 Pangeran Benawa yang berkoalisi dengan Sutawijaya (Panembahan Senopati) menyerang balik Pajang. Hasilnya, Arya Pangiri kalah dan dipaksa kembali ke Demak, yakni tanah kelahirannya. Pangeran Benawa menjadi raja Pajang sampai 1587. Sepeninggalan Pangeran Benawa, tidak ada penerusnya sehingga Pajang mengalami kekosongan takhta. Dalam situasi demikian, Mataram menguasai Pajang.

Pada awal abad ke-17, Dinasti Mataram mulai mapan. Puncak kejayaannya terjadi dalam masa kekuasaan Sultan Agung (wafat 1645). Dia berusaha menyelaraskan tradisi Keraton Mataram dengan nilai-nilai Islami. Kecenderungan sinkretis demikian bukanlah hal yang jarang ditemui dalam falsafah Jawa.

Baca Juga : SUBHANALLAH! Inilah Kehidupan Anisa Setelah Keluar dari Cherrybelle, Mengejutkan!!!

Dengan demikian, kedatangan Islam tidak mesti menghapus sama sekali budaya asli setempat. Misalnya, Sultan Agung memberlakuan sistem kalender Jawa yang memadukan kalender Hijriyah dengan kalender Saka. Untuk menekankan aspek kejawaan, lanjut Ricklefs, Sultan Agung masih menuruti beberapa warisan kebudayaan Jawa pra-Islam. Di antaranya, kepercayaan terhadap mitos Nyi Roro Kidul.


Sumber : Republika
ADSENSE 336 x 280 dan ADSENSE Link Ads 200 x 90

0 Response to "SEJARAH : Ini Jejak Kerajaan Islam di Tanah Jawa, Muslim Wajib Tahu!"

Posting Komentar